Tuesday, April 16, 2013

Dunia Nyata yang tidak Terlihat


Kepada dunia nyata yang tidak terlihat, mungkin dulu aku tidak menyadari kehadiranmu, tetapi menginjak kedewasaanku, aku menguaknya dengan perlahan. Merobek jahitannya yang rapi satu per satu, hingga kau menunjukkan dirimu yang sebenarnya dalam diriku ... Diriku yang utuh.

Aku berdiri di seberang jalan, lalu melihat seorang anak kecil berjalan, ia memegang dua buah balon dan bersama ayahnya. Anak itu terlihat bahagia.
Aku membayangkan jika aku adalah dirinya, pasti saat itu aku akan tertawa bahagia, pulang dengan dua buah balon dan mungkin saat itu hari ulang tahunku ...

“Lihatlah lurus ke depan, saat kamu tidak dapat merasakan hatimu lagi, di depan sana pasti ada jalan ... ”



Aku tidak begitu ingat masa kecilku, yang aku ingat aku cukup bahagia, bermain bersama teman dan seorang kakak laki-laki. Aku cukup bahagia dengan keadaan keluargaku, walaupun tidak yang seperti aku bayangkan setelahnya. Aku memang tidak pernah mendapatkan hadiah ulang tahun, tetapi yang terpenting adalah kehadiran kue tart yang berhiaskan krim-krim lembut yang manis serta berwarna warni dan berbagai macam bentuk yang lucu, aku sangat menginginkannya ...

Menginjak usiaku yang ke 10 aku ingat masa-masa bahagia, pertama kalinya aku merasa bahagia saat ulang tahunku. Aku diberikan hadiah yang cukup membuatku begitu senang, hadiah itu adalah gaun pesta yang lucu. Sejak baju itu menjadi hak milikku, karena sangat senang aku bisa memakainya setiap hari, walaupun mama melarangku. Aku masih punya foto-fotonya, dan jika aku sekarang melihatnya, aku ingin kembali ke masa itu ...
Lagi-lagi aku memandang ke arah jendela luar, aku melihat seorang gadis remaja, ia memakai baju yang feminin dengan rambut terurai, ia sangat mempesona, dan aku menjadi dirinya, pasti saat itu aku sedang gembira dan akan bertemu pacarku, aku tertawa bahagia ...
“Jalan di depan mata adalah jalan takdirmu, walau cabang ada dua ataupun cabang tak terhingga, itulah jalanmu. Jalan yang kamu pilih sendiri untuk menempuh akhir hidupmu ...”

Entah mengapa aku tidak begitu tertarik dengan pakaian yang feminin sejak aku mengetahui diriku tidaklah pantas menggunakannya. Mungkin hanya pemikiranku saja, tetapi apa yang aku pikirkan bisa menjadi suatu perbuatan yang tidak terduga. Buktinya sampai saat ini aku hanya bisa terlihat feminin saat 2 kali dalam hidupku setelah aku meningaalkan umurku yang ke 19. Kini usiaku menjajaki umur 22, usia paling matang untuk seorang gadis. Tetapi aku masih tidak berubah ...

Kulihat sepasang suami istri sedang bercengkrama dengan bahagia, aku adalah suaminya, aku duduk di kursi putih dan berbincang dengan istriku tentang masa depan dan masa yang sekarang, setelah itu kami akan hidup bersama selamanya, dalam keluarga bahagia ...

“Di dunia ini manusia harus saling memiliki, di suatu tempat yang tidak terduga, di waktu dan kondisi yang tidak terduga kita akan menemukan pasangan yang telah ditakdirkan bagi kita, masing-masing insan ...”

Aku pernah 1 kali merasakan apa arti cinta bukan arti suka. Aku tidak akan menyebutkannya kapan dan siapa orangnya, tetapi mungkin aku dulu berpikir, kami adalah orang yang ditakdirkan, tetapi aku mengetahuinya sesudahnya, aku masih belum menemukan “dirinya” yang ditakdirkan untukku ...


Ia cinta pertamaku, bukan cinta monyet yang seperti kita ketahui dari dahulu kala, dimana cinta monyet adalah cinta yang terjadi saat pertama kali kita melihat dirinya yang ditakdirkan. Aku mengenalnya 2 tahun setelah kami bertemu dan barulah benih cinta itu tumbuh, aku memupuknya tiap hari hingga layu dan mati, benih yang belum tumbuh menjadi bunga itu, aku bertepuk sebelah tangan ...

Dalam penglihatanku aku adalah seorang kakek tua yang sedang menunggu waktuku untuk berlabuh di tepi sungai sepi dan berkabut..

“Di saat kita kehilangan, maka ada saatnya kita akan dihilangkan seperti mereka yang telah lama hilang, 1 orang hidup dalam setiap detik yang kita lalui dan 1 orang pergi setiap detik yang sama, dari tanah kita hidup dan kita menghilang menjadi tanah ...”
Aku berpikir berat tentang kehidupan hanya 4 kali dalam 20 tahun ini, yang pertama saat aku mendapat kabar, sepupuku yang 1 tahun lebih muda dariku meninggal dengan tak terduga, aku tidak menangis. Aku berpikir, dimana saat kita telah tiada di dunia ini? Sepikah? Sedihkah? Hitamkah? Aku masih tidak tahu ...

Yang kedua kalinya aku berfikir saat aku memasuki kelas 1-2 SMA, kata para orang tua, umur menginjak 1-2 SMA adalah masa kritis seorang anak. Ia akan memilih jalan hidupnya di usianya saat itu. Kupikir aku akan melewatinya dengan santai, tetapi yang kudapat adalah kekosongan. Kekosongan itu merenggut jiwa dan pikiranku, aku capek dan lelah, dan itu terjadi lebih cepat dari yang kuduga ...

Ibuku pindah ke luar kota saat aku memasuki kelas 1 SMA, aku kehilangan panduan hidupku, aku mengenal hal-hal yang belum pernah aku ketahui sebelumnya, dan aku tidak tahu apa yang terbaik bagi jalanku kemudian hari, lalu aku terjerumus semakin dalam ...

“Ada kalanya kita sebaiknya mengetahui apa yang harus kita ketahui dan ada kalanya kita tidak perlu tahu segalanya ...”

Ketiga, aku kehilangan Kakekku, di usianya yang ke-83 tahun ia pergi dengan damai, dan kedua kalinya aku tidak menangis. Aku memang tidak memiliki kenangan manis dengannya, dan alasannya tidak hanya itu, aku masih tidak tahu apakah aku harus menangis ataukah tidak, tapi aku merasa sesak di dada. Ia memanggilku 3 jam setelah ia pergi, aku meneteskan 1 butir air mata, dan tidak menangis ...

“Saat kita terpuruk, menangislah, buang semua jauh-jauh rasa itu dan mulailah jalanmu yang baru..”

Aku berpikir keras untuk terakhir kalinya dalam 20 tahun terakhirku, kemarin. Setelah apa yang aku raih dengan sekuat tenaga dan bangga, membuatku jatuh terpuruk. Memikirkan apakah berarti hidupku jika aku berhasil memperolehnya. Aku menangis perlahan, lalu semakin kencang hingga aku terbebas dari belenggu yang mengikatku selama 2 tahun, aku tertidur ...
 

“Mimpiku adalah kamu, kamu adalah diriku, maka aku didalam dirimu mengingatkanku akan adanya dirimu dalam diriku..”

Dalam setiap perjalanan mimpiku, seolah semua berkaitan satu sama lain, mungkin skenarionya tidaklah sama tetapi pemerannya satu dan inti ceritanya satu ...

“Aku menjadi diriku dalam mimpiku, tetapi aku bukanlah diriku, aku berkaca dan aku melihat dirimu..”

Semua mimpiku yang telah aku rekam adalah semua yang ada dalam diriku setelah aku mengartikannya sendiri. Mimpi terakhirku yang masih kuingat saat aku menulis ini adalah mimpi yang cukup berarti. Aku di dalam dirimu melihat ombak besar melayang ke udara, semakin tinggi dan jaraknya hanya beberapa meter di depanku, aku terdiam. Aku melihat seseorang di depanku, seorang laki-laki sebaya papaku, lalu terjatuh setelah melihat ombak besar itu. Kami berada tidak jauh dari ancaman terbesar itu, tetapi kami di dalam rumah, dan aku melihat ombak itu di depan kaca jendela yang hanya terbuat dari kusen kayu. Beberapa detik yang tidak kuhitung ombak itu menerjang diriku, aku terjatuh, tertindih kusen kayu dan terbangun..

“Mimpi adalah buah pikiran alam tidak sadar kita, jika kita bermimpi kita tidak akan tahu apakah mimpi itu bukanlah kenyataan..”

Setiap mimpiku memiliki arti, arti yang kompleks, dimana rasa dendam, rasa sakit hati, rasa tidak bersalah, rasa iri hati, rasa menginginkan hal yang lain, rasa bahagia, rasa cemburu dan rasa ingin diperhatikan muncul, dan mendirikan ceritanya masing-masing dalam setiap episode. Tetapi aku percaya di dalam diriku adalah sebuah hati yang sama dan dimiliki setiap orang, tidak terkecuali dirimu yang membacanya...

Karena itu, walaupun aku pernah berfikir kenapa aku tidak menjadi mereka dan mereka menjadi aku, aku tetaplah diriku yang sekarang, diriku yang terbentuk dari segala macam emosi dalam kehidupan yang telah aku pelajari sebelumnya dan merekamnya, lalu memutarnya ulang ...

To : Mereka semua yang mau menghargai hidup mereka

Belajar Fotografi


Beberapa waktu lalu saya dan temen jalan-jalan ke kebun binatang Bandung, itupun tidak sengaja karena saya ada urusan di ITB saat itu. Pulang dari urusan di ITB teman saya yang dari kapan-kapan ingin melihat kebun binatang yang lokasinya di dekat situ.

Hari itu sebenernya sudah mau hujan, mendung, dan rintik-rintik. Tapi karena teman saya ngotot akhirnya pergi juga.
Biaya masuknya menurut saya mahal untuk sekedar lihat-lihat saja, jaman dulu rasanya hanya Rp 2.000,- per orang, skrng jadi Rp 11.000,- wow, saya kaget tahu tiket masuknya mahal. 
Kami tidak dapet melihat banyak satwa karena saat itu kebun binatang itu sedang dalam tahap renovasi, oleh karena itu beberapa binatang dipindahkan. Jadi kami hanya bisa melihat satwa-satwa yang rumah tinggalnya tidak direnovasi, seperti spesies burung, harimau, reptil dan bangsa unggas.
Cara mengambil foto amatir ala saya adalah mengatur angle untuk membuat posisi yang baik, agar kesan foto terlihat lumayan. Di foto pertama awalnya burung itu tidak mengepakkan sayap dan suasana gelap karena mendung, akhirnya muncul matahari dan burung itu mulai menggepakkan sayap, ”cring” bunyi deh digital kameraku, pas banget bertepatan saat burung itu mengepakkan sayap.

Di foto ke dua ini, semua temenku berkata, ’Ih sombong amat ya burungnya’. Lihat tatapan mendelik dia dengan jambulnya. Saat itu banyak burung sejenis tapi posisi tidak menguntungkan saya, tetapi setelah beberapa saat burung ini terbang lalu hinggap disana, dan seolah melihat ke saya dan berkata ”Apa kamu lihat-lihat”, menurutku lucu posenya, jadi saya abadikan deh posenya itu.